SEJARAH SITUS BANTEN
Menurut
para arkeolog, Banten Lama merupakan satu-satunya situs arkeologi yang bisa
menggambarkan kecanggihan arsitektur perkotaan dari zaman Islam Nusantara. Di
sana juga bisa dilihat sisa- sisa hasil karya Sultan Ageng Tirtayasa
(1651-1672) berupa danau buatan dan saluran-saluran air yang dibangun sebagai
bagian dari sarana penjernihan air. Peninggalan sejarah berupa bangunan-
bangunan besar dapat dengan mudah ditemui dan dikenal dengan baik oleh orang
Banten. Situs Banten Lama atau bahkan Banten Girang tidaklah asing bagi orang
Banten. Orang dari luar Banten pun banyak yang mengenalnya. Keraton, masjid,
benda pusaka, tradisi, dan juga kepercayaan yang ada pada orang Banten adalah
bukti bahwa Banten tidak bisa lepas dari sejarahnya dan menjadi bagian yang
integral dari sejarah nasional Indonesia.
A.MASJID
AGUNG BANTEN DAN MENARANYA
Selain
sebagai obyek wisata ziarah, masjid Agung Banten juga merupakan obyek wisata
pendidikan dan sejarah. Dengan mengunjungi masjid ini, wisatawan dapat
menyaksikan peninggalan bersejarah kerajaan Islam di Banten pada abad ke-16 M,
serta melihat keunikan arsiteksturnya yang merupakan perpaduan gaya Hindu,
Jawa, Cina dan Eropa, yang berada sekitar 10 km sebelah utara Kota Serang..
Sejarah pendirian Masjid Agung Banten berawal dari instruksi Sultan Gunung Jati
kepada anaknya, Hasanuddin. Konon, Sunan Gunung Jati memerintahkan kepada
Hasanuddin untuk mencari sebidang tanah yang masih "suci" sebagai
tempat pembangunan Kerajaan Banten. Setelah mendapat perintah ayahnya tersebut,
Hasanuddin kemudian shalat dan bermunajat kepada Allah agar diberi petunjuk
tentang tanah untuk mendirikan kerajaan. Konon, setelah berdoa, secara spontan
air laut yang berada di sekitarnya tersibak dan menjadi daratan. Di lokasi
itulah kemudian Hasanuddin mulai mendirikan Kerajaan Banten beserta sarana
pendukung lainnya, seperti masjid, alun-alun, dan pasar. Perpaduan empat hal:
istana, masjid, alun- alun, dan pasar merupakan ciri tradisi kerajaan Islam di
masa lalu. Keunikan arsitektur Masjid Agung Banten terlihat pada rancangan atap
masjid yang beratap susun lima, yang mirip dengan pagoda Cina. Konon, masjid
yang dibangun pada awal masuknya Islam ke Pulau Jawa ini desainnya dirancang
dan dikerjakan oleh Raden Sepat. Ia adalah seorang ahli perancang bangunan dari
Majapahit yang sudah berpengalaman menangani pembangunan masjid, seperti Demak
dan Cirebon. Selain Raden Sepat, arsitek lainnya yang ditengarai turut berperan
adalah Tjek Ban tjut, terutama pada bagian tangga masjid. Karena jasanya itulah
Tjek Ban Tjut memperoleh gelar Pangeran Adiguna. Kemudian pada tahun 1620 M,
semasa kekuasaan Sultan Haji, datanglah Hendrik Lucaz Cardeel ke Banten, ia
seorang perancang bangunan dari Belanda yang melarikan diri dari Batavia dan
berniat masuk Islam. Kepada sultan ia menyatakan kesiapannya untuk turut serta
membangun kelengkapan Masjid Agung Banten, yaitu menara masjid serta bangunan
tiyamah yang berfungsi untuk tempat musyawarah dan kajian-kajian keagamaan. Hal
ini dilakukan sebagai wujud keseriusannya untuk masuk Islam. Karena jasanya
tersebut, Cardeel kemudian mendapat gelar Pangeran Wiraguna. Menara masjid
tersebut terletak di sebelah timur masjid. Menara ini terbuat dari batu bata
dengan ketinggian kurang lebih 24 meter, dengan diameter bagian bawahnya kurang
lebih 10 meter. Untuk mencapai ujung menara, pengunjung harus melewati 83 buah
anak dan melewati lorong yang hanya dapat dilewati oleh satu orang. Dari atas
menara ini, pengunjung dapat melihat pemandangan di sekitar masjid dan perairan
lepas pantai, karena jarak antara menara dengan laut hanya sekitar 1,5 km. Pada
zaman dahulu, selain digunakan sebagai tempat mengumandangkan adzan, bangunan
ini difungsikan sebagai menara pandang ke lepas pantai. Selain itu, menara ini
juga digunakan oleh masyarakat Banten untuk menyimpan senjata pada masa
pendudukan Belanda. Selain menara, pada bagian depan masjid terdapat alat
pengukur waktu shalat yang berbentuk lingkaran, dengan bagian atas berbentuk
seperti kubah. Ada bagian atas kubahnya ditancapkan kawat berbentuk lidi.
Melalui bayangan dari kawat itulah dapat diketahui kapan waktu shalat tiba.
Keunikan lainnya nampak pada umpak dari batu andesit yang berbentuk labu dengan
ukuran besar. Undak-undak batu ini terdapat di setiap dasar masjid, pendopo,
dan kolam untuk wudhu. Undak besar seperti ini tidak terdapat di masjid-masjid
di Pulau Jawa, kecuali di bekas reruntuhan masjid Kesultanan Mataram di daerah
Plered, Bantul, Yogyakarta. Begitu pula dengan bentuk mimbar yang besar dan
antik, tempat imam yang berbentuk kecil, sempit, dan sederhana juga menunjukkan
kekhasan masjid ini. Di serambi kiri masjid ini terdapat makam Sultan Maulana
Hasanuddin dengan permaisurinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Abu Nashr Abdul
Kahhar (Sultan Haji) . Sementara di serambi kanan, terdapat makam Sultan
Maulana Muhammad, Sultan Zainul Abidin, Sultan Abdul Fattah, Pangeran Aria,
Sultan Mukhyi, Sultan Abdul Mufakhir, Sultan Zainul Arifin, Sultan Zainul
Asikin, Sultan Syarifuddin, Ratu Salamah, Ratu Latifah, dan Ratu Masmudah.
Masjid Agung Banten terletak di Desa Banten Lama, Kecamatan Kasemen, Kota
Serang, Propinsi Banten, Indonesia.
B.PELABUHAN
INTERNASIONAL Sebagai kota bandar internasional, pusat Kesultanan Banten juga
sempat berkembang menjadi sebuah kota metropolitan, kota antarbangsa yang
ramai. Catatan yang dibuat seorang pelaut Belanda bernama Yans Karel pada tahun
1596 menyebutkan, Banten merupakan sebuah kota yang dikelilingi tembok. Luasnya
kurang lebih sama dengan Kota Amsterdam, ibu kota Belanda. Yans Karel adalah
pelaut anggota armada kapal yang dipimpin Cornelius de Houtman, pedagang
Belanda pertama yang datang ke Nusantara dan berlabuh di Banten dalam
perjalanannya mencari rempah-rempah. Archaeological Remains of Banten Lama yang
dibuat Pusat Penelitian Arkeologi Nasional tahun 1984 menyatakan, sejarah
Banten terutama terjadi pada abad ke-16 ke atas.Antara abad ke-12 sampai ke-15
Banten sudah dikenal sebagai pelabuhan untuk Pemerintah Inggris di Sunda.
Pertumbuhan wilayah itu maju pesat. Bandar yang berjarak hanya sekitar dua
kilometer dari pusat Pemerintahan Banten Lama disinggahi pedagang dari Gujarat
(India), Tionghoa, Melayu, Portugal, dan Belanda. Waktu itu, arus barang
keluar-masuk pelabuhan sangat lancar sehingga perekonomian Banten maju pesat.
Pada zaman pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten dikenal sebagai
eksportir lada. Produk rempah-rempah mengundang banyak pedagang dari berbagai
negara datang lalu tinggal di sana . Tak aneh bila di kawasan itu berdiri bangunan
berusia di atas 100 tahun seperti vihara, mesjid Lama Banten, serta bekas
kampung Arab, India, dan Cina. Dalam berbagai kitab sejarah selalu digambarkan
pada masa itu Pelabuhan Banten di pantai utara Jawa bagian barat sebagai bandar
internasional yang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang dari berbagai daerah
Nusantara dan dunia. Sebut saja dariC ina, Arab, dan belakangan dari Eropa.S
eperti disebut dalam buku Banten Menuju Masa Depan (1999), para saudagar asing
datang ke Banten tak sekadar menjual berbagai komoditas perdagangan dari negeri
asal mereka. Mereka juga datang untuk membeli berbagai komoditas asal Banten
dan daerah-daerah lain untuk dibawa dan dijual di kota-kota pelabuhan dunia
lain. Pada masa itu, Banten merupakan pintu gerbang yang menghubungkan berbagai
daerah di Nusantara dengan dunia. Catatan sejarah lain menyebut, di Pelabuhan
Banten berlabuh puluhan kapal dari berbagai bangsa, mulai dari Tionghoa,
Keling, sampai bangsa Pagu (sekarang Myanmar). Di Banten juga terdapat beberapa
pasar. Di Pasar Karangantu, pasar yang terbesar, selain terdapat
pedagang-pedagang lokal, juga terdapat para pedagang asing yang memperdagangkan
barang-barang seperti sutra dan porselen/ keramik Cina.
C.KERATON
KERAJAAN ISLAM BANTEN
1.Keraton Surosowan Peninggalan paling penting di kompleks situs arkeologi Banten Lama itu adalah kompleks Istana Surosowan, yakni merupakan tempat bertakhtanya sultan-sultan Banten sejak sultan pertama, yakni Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), hingga sultan yang terakhir, Sultan Muhammad Rafiuddin (1813-1820). Kota istana seluas kira-kira empat hektar itu kini tinggal puing. Bangunan-bangunan megah yang pernah berdiri di sana cuma bisa dibayangkan lewat alur-alur batu fondasi yang masih tersisa. Keraton ini dibangun pada masa Sultan Maulana Hasanudin, sultan kedua Kasultanan Banten, memerintah. Bangunan yang nyaris rata dengan tanah itu masih sangat kuat, meski telah ditumbuhi lumut. Kolam pemandian “khusus putri” Roro Denok di tengah keraton bahkan masih utuh. Keraton Surosowan memiliki luas kurang lebih 3,8 hektar. Keraton ini lokasinya berdekatan dengan Masjid Agung Banten di Kampung Banten, Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Serang. Salah satu bagian di dalam keraton yang menarik perhatian adalah Pancuran Mas. Pancuran yang sebenarnya terbuat dari tembaga dan bukan emas itu dahulu biasa digunakan untuk mandi para pejabat dan juga abdi kerajaan. Begitu kondangnya nama Pancuran Mas sehingga orang-orang yakin bahwa pancuran itu memang terbuat dari emas. Keraton Surosowan telah tiga kali dibangun akibat hancur karena perang. Terakhir, keratin dihancurkan oleh Daendels pada tahun 1808. Banten Lama atau Surosowan adalah situs yang berkelanjutan. Di sana ada peradaban prasejarah dan berlanjut ke zaman klasik (Hindu-Budha), lalu beralih ke kebudayaan Islam pada abad ke-16. 2.Keraton Kaibon Nama Keraton Kaibon yang dibangun pada tahun 1815 ini diambil dari kata keibuan. Pada waktu itu, sultan ke 21 yaitu Sultan Syafiuddin masih sangat belia sehingga pemerintahan dijalankan oleh ibundanya, Ratu Aisyah. Pada tahun 1832, keratin dihancurkan oleh pemerintah Hindia-Belanda bersama-sama dengan keraton lainnya, termasuk Keraton Surosowan. Asal muasal penghancuran keraton berdasarkan sejarah yaitu ketika Du Puy, utusan Gubernur Jenderal Daendels meminta kepada Sultan Syafiudin untuk meneruskan proyek pembangunan jalan dari Anyer sampai Panarukan, juga pelabuhan armada Belanda di Teluk Lada (di Labuan). Namun, Syafiuddin dengan tegas menolak. Dia bahkan memancung kepala Du Puy dan menyerahkannya kembali kepada Daendels yang kemudian marah besar dan menghancurkan Keraton Kaibon. Meski demikian, ada banyak bagian bangunan yang masih berdiri tegak hingga sekarang, yaitu pintu-pintu dan deretan Candi Bentar khas Banten atau disebut gerbang bersayap. Masih dapat dilihat pula Pintu Paduraksa, pintu khas Bugis yang sisi kanan dan kirinya tersambung, tidak seperti kebanyakan pintu keraton yang bagian atasnya tidak tersambung. Ruangan yang diduga kamar Ratu Aisyah juga masih tersisa seperempat bagian. Kamar ini khas karena bagian lantainya dibuat lebih menjorok ke bawah (tanah) untuk diisi air sebagai pendingin ruangan. Di atasnya dipasang papan yang berfungsi sebagai lantai. Saat ini, masih terlihat adanya lubang-lubang penyangga papan. Meski saat ini dikelilingi permukiman penduduk yang makin padat, istana seluas dua hektar itu tetap terjaga sebagai cagar budaya. Keraton yang terletak di Kelurahan Kasunyatan, Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang ini juga masih dikelilingi kanal dan Kali Banten seperti saat pertama kali dibangun pada awal abad 19.
1.Keraton Surosowan Peninggalan paling penting di kompleks situs arkeologi Banten Lama itu adalah kompleks Istana Surosowan, yakni merupakan tempat bertakhtanya sultan-sultan Banten sejak sultan pertama, yakni Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), hingga sultan yang terakhir, Sultan Muhammad Rafiuddin (1813-1820). Kota istana seluas kira-kira empat hektar itu kini tinggal puing. Bangunan-bangunan megah yang pernah berdiri di sana cuma bisa dibayangkan lewat alur-alur batu fondasi yang masih tersisa. Keraton ini dibangun pada masa Sultan Maulana Hasanudin, sultan kedua Kasultanan Banten, memerintah. Bangunan yang nyaris rata dengan tanah itu masih sangat kuat, meski telah ditumbuhi lumut. Kolam pemandian “khusus putri” Roro Denok di tengah keraton bahkan masih utuh. Keraton Surosowan memiliki luas kurang lebih 3,8 hektar. Keraton ini lokasinya berdekatan dengan Masjid Agung Banten di Kampung Banten, Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Serang. Salah satu bagian di dalam keraton yang menarik perhatian adalah Pancuran Mas. Pancuran yang sebenarnya terbuat dari tembaga dan bukan emas itu dahulu biasa digunakan untuk mandi para pejabat dan juga abdi kerajaan. Begitu kondangnya nama Pancuran Mas sehingga orang-orang yakin bahwa pancuran itu memang terbuat dari emas. Keraton Surosowan telah tiga kali dibangun akibat hancur karena perang. Terakhir, keratin dihancurkan oleh Daendels pada tahun 1808. Banten Lama atau Surosowan adalah situs yang berkelanjutan. Di sana ada peradaban prasejarah dan berlanjut ke zaman klasik (Hindu-Budha), lalu beralih ke kebudayaan Islam pada abad ke-16. 2.Keraton Kaibon Nama Keraton Kaibon yang dibangun pada tahun 1815 ini diambil dari kata keibuan. Pada waktu itu, sultan ke 21 yaitu Sultan Syafiuddin masih sangat belia sehingga pemerintahan dijalankan oleh ibundanya, Ratu Aisyah. Pada tahun 1832, keratin dihancurkan oleh pemerintah Hindia-Belanda bersama-sama dengan keraton lainnya, termasuk Keraton Surosowan. Asal muasal penghancuran keraton berdasarkan sejarah yaitu ketika Du Puy, utusan Gubernur Jenderal Daendels meminta kepada Sultan Syafiudin untuk meneruskan proyek pembangunan jalan dari Anyer sampai Panarukan, juga pelabuhan armada Belanda di Teluk Lada (di Labuan). Namun, Syafiuddin dengan tegas menolak. Dia bahkan memancung kepala Du Puy dan menyerahkannya kembali kepada Daendels yang kemudian marah besar dan menghancurkan Keraton Kaibon. Meski demikian, ada banyak bagian bangunan yang masih berdiri tegak hingga sekarang, yaitu pintu-pintu dan deretan Candi Bentar khas Banten atau disebut gerbang bersayap. Masih dapat dilihat pula Pintu Paduraksa, pintu khas Bugis yang sisi kanan dan kirinya tersambung, tidak seperti kebanyakan pintu keraton yang bagian atasnya tidak tersambung. Ruangan yang diduga kamar Ratu Aisyah juga masih tersisa seperempat bagian. Kamar ini khas karena bagian lantainya dibuat lebih menjorok ke bawah (tanah) untuk diisi air sebagai pendingin ruangan. Di atasnya dipasang papan yang berfungsi sebagai lantai. Saat ini, masih terlihat adanya lubang-lubang penyangga papan. Meski saat ini dikelilingi permukiman penduduk yang makin padat, istana seluas dua hektar itu tetap terjaga sebagai cagar budaya. Keraton yang terletak di Kelurahan Kasunyatan, Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang ini juga masih dikelilingi kanal dan Kali Banten seperti saat pertama kali dibangun pada awal abad 19.
D.
BENTENG SPELLWIJK Banten Lama memang sarat dengan nuansa Islam. Tapi tidak
hanya itu, di kawasan ini juga terdapat sebuah peninggalan Belanda berupa
reruntuhan benteng yang dikenal dengan nama Speelwijk. Adanya beberapa makam
dengan bentuk khas Eropa di sekitar benteng melengkapi ciri khas budaya barat
di objek misata ini. Lokasi Benteng Speelwijk ini tidaklah terlalu jauh dari
Masjid Agung Banten, sekitar 500 meter ke arah utara. Meskipun tidak utuh lagi,
beberapa sudut benteng ini meninggalkan bentuk bangunan yang masih bisa
dinikmati. Pada bagian utara, walaupun tidak utuh tetapi masih dapat dilacak
fungsi dan kegunaannya. Ruangan bawah tanah diduga merupakan ruangan yang
dipakai sebagai kamar tahanan khusus dan tahanan biasa. Di bagian tembok masih
berdiri sebuah bangunan pengintai yang menempel di atas tembok itu. Tembok
benteng itu, diduga mempunyai dua fungsi, yakni sebagai pertahanan dan
pemukiman. Di salah satu sisinya tampak sebuah lobang bekas hantaman peluru meriam.
Benteng ini didirikan pada tahun 1682, mengalami perluasan pada tahun 1685 dan
1731. Benteng ini untuk mengontrol segala kegiatan yang berkaitan dengan
Kesultanan Banten dan juga sebagai tempat berlindung/ bermukim bagi orang
Belanda. Benteng ini semakin mengokohkan posisi Belanda dalam usahanya
memonopoli perdagangan merica yang berasal dari Lampung Selatan untuk kemudian
dijual lagi kepada pedagang- pedagang asing yang berasal dari Cina, Malaysia,
Arab, India dan Vietnam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar