Google

Sabtu, 14 Oktober 2017

Sejarah tentang Jejak Perjuangan Rakyat Banten pada Masa Kolonial Jepang



Jejak Perjuangan Rakyat Banten
Pada Masa Kolonial Jepang

J De Bruin WD bertugas sebagai Residen Banten pertama pada 1817. Ia melakukan penataan kota dengan membangun sejumlah gedung dengan menggunakan sebagian material Keraton Surosowan yang dibakar Gubernur Jenderal Herman Willem Deandels pada 1812. Beberapa bangunan tua peninggalan penjajah Belanda dan menjadi saksi perjuangan rakyat Banten itu masih tersisa di Kota Serang, ibukota Provinsi Banten. Sementara sebagian bangunan lainnya sudah hancur dan berganti dengan bangunan lainnya. Salah satu bangunan tua yang telah tiada adalah Hotel Voss di Jalan Veteran, Kota Serang. Hotel milik Smitt Voss ini menjadi saksi perjuangan sengit rakyat Banten melawan penjajah Jepang pada 1945. Di hotel yang hancur dan berganti menjadi pusat perbelanjaan itulah terjadi peristiwa heroik rakyat Banten yang menurunkan bendera Jepang untuk pertama kalinya di Kota Serang. (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang, "Ragam Pusaka Budaya Banten", 2005). Hotel yang dijadikan mess tentara Jepang tersebut direbut dan dijadikan markas oleh para Tentara Pelajar, Tentara Putri, dan Badan Keamanan Rakyat. Bangunan itu juga menjadi saksi gugurnya para pejuang Banten seperti Zamachsyari dan Kodir pada pertempuran 19 Desember 1948. Nama Zamachsyari diabadikan nama jalan di kawasan Cinanggung, Kota Serang dengan nama Jalan Trip Jamaksari. Trip merupakan kepanjangan dari Tentara Republik Indonesia Pelajar. Gedung Juang Bangunan tua lainnya yang memiliki nilai sejarah perjuangan rakyat Banten adalah Markas Kempetai (satuan polisi militer Jepang) yang kini menjadi Gedung Juang '45. Markas Kempetai ini pernah direbut pemuda yang tergabung dalam Angkatan Pemuda Indonesia (API) yaitu badan perjuangan di bawah Komite van Aksi di Menteng Raya 31, Jakarta yang berperan menyambut Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Organisasi pemuda ini dipimpin tokoh-tokoh muda seperti Adam Malik, Sukarni, M Nitimihardjo, dan lain- lain. Di Serang, API dipimpin Ali Amangku yang juga pemimpin Yugekitai (pasukan gerilya penjajah Jepang). berjudul Cerita Heroik dari Kota Serang, rencana perebutan markas Kempetai dilakukan di markas API di Kaujon Kalimati, Kota Serang. Hadir dalam pembahasan ini sejumlah pemimpin pasukan dari Ciomas, Pabuaran, Baros, Taktakan, Padarincang, Kramatwatu, Cilegon, dan Ciruas untuk membahas secara rinci rencana penyerangan. Dalam rapat itu diputuskan penyerangan markas Kempetai akan dilakukan pada Kamis, 10 Oktober 1945, pukul 04.30. Strategi penyerangan dilakukan dengan membagi empat sektor palagan (medan pertempuran). Iski memimpin sektor utara (depan), Zaenal Falah memimpin sector timur (samping kiri), Nunung Bakri memimpin sektor barat (samping kanan), dan Salim Nonong memimpin sektor selatan (belakang). Kode penyerangan adalah pemadaman aliran listrik di Kota Serang dan tembakan senjata oleh Iski. Pada Rabu, 9 Oktober 1945, beberapa pejuang dari sejumlah daerah di Banten berdatangan ke markas BKR di Kota Serang untuk membantu rencana penyerangan. Penampungan para pejuang disiapkan massa dari daerah Pandeglang dan Lebak ditampung di Kampung Benggala. Dari daerah Cilegon, Merak, dan Anyer ditampung di Lontar dan Kaloran. Pejuang dari Tangerang ditampung di Pegantungan. Pada waktu yang ditetapkan, seluruh pasukan siap di tempat yang direncanakan. Pasukan yang berada di sektor utara menjadi barisan penyerang. Pasukan ini mengambil lokasi mulai dari perempatan Jalan Kantin (sekarang Jalan Juhdi) sampai ke halaman gedung Kabupaten Serang. Sektor barat mulai dari halaman gedung karesidenan dan di sepanjang Sungai Cibanten membawahi pasukan rakyat. Sektor selatan di sekitar Benggala, sepanjang sisi selatan Alun-alun sampai ke Rumah Sakit Serang yang juga membawahi pasukan rakyat. Sedangkan sektor timur anggotanya terdiri para pemuda eks bintara PETA yang memiliki beberapa pucuk senjata api. Karena pertahanan tentara Jepang yang begitu kuat, pejuang Banten mengalami kesulitan merebut markas Kempetai. Sekira pukul 07.00, tersiar berita bahwa Nunung Bakri, pemimpin sektor barat dan Juhdi dari sektor selatan telah gugur. Mendengar berita gugurnya dua pemuda itu para pejuang semakin bergelora menyerang markas Kempetai dari jarak dekat, walau harus menebusnya dengan nyawa, di antaranya adalah Kudsi dan Thalib, pemuda dari laskar Ciomas. Pertempuran ini baru berakhir pada malam harinya setelah pasukan penjajah kabur ke Jakarta dengan menggunakan empat truk. Dalam pertempuran ini, lima pejuang Banten gugur. Sementara dari pihak penjajah hanya dua orang. CAGAR BUDAYA Saat ini bangunan eks Markas Kempetai atau Gedung Juang masih berdiri kokoh di Jalan Ki Mas Jong, Kota Serang. Gedung bercat putih itu difungsikan menjadi sekretariat sejumlah organisasi social kemasyarakatan seperti Dewan Harian Daerah (DHD) 45 dan Satkar Ulama Indonesia Banten. Bentuk bangunan ini belum mengalami perubahan dengan masih meninggalkan kekhasan arsitektur indies, dengan pilar silindris di bagian depan bangunan serta jendela-jendela berukuran besar. Di dalam bangunan ini terpasang sejumlah gambar pahlawan nasional. Beberapa bagian gedung sudah mengalami pengeroposan karena lapuk dimakan usia. Pada malam hari, halaman gedung yang berada di samping Alun-alun Barat Kota Serang ini dimanfaatkan untuk tempat pedagang makanan. Di samping kiri gedung ini berdiri lembaga pendidikan TK Pertiwi. Sementara di bagian kanan digunakan untuk tempat pelatihan satpam. "Sayang bangunan bersejarah ini kurang perawatan," ungkap Jajang, warga Kota Serang. Kabid Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banten Dadi Ruswandi mengakui tak ada anggaran untuk perawatan benda-benda cagar budaya. "Tahun ini kita hanya menganggarkan untuk pembuatan plang peringatan agar benda cagar budaya tak dirusak," ujarnya. Menurut pria yang akrab dipanggil Abah Dadi ini, berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya bahwa perawatan benda cagar budaya menjadi kewenangan pemilik bangunan dan pemerintah daerah. Untuk melakukan renovasi, kata Abah Dadi, sebaiknya dikoordinasikan dengan Disbudpar dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang. "Ada yang boleh direnovasi dan tidak. Undang-Undang Cagar Budaya ini sekarang sedang direvisi, "ujarnya. Terkait pemanfaatan areal Gedung Juang untuk menjual makanan, menurut Abah Dadi, hal itu diperkenankan selama mendapatkan izin dari pemerintah daerah dan tidak merusak zona inti situs bersejarah. Ridwan Kamil, konsultan arsitektur saat menjadi pembicara dalam Forum Design Seminar Tata kota Serang pada Kamis (29/10/09) menyatakan, kota yang berkarakter adalah kota yang memiliki cirri khas. "Ciri khas Serang sangat jelas sekali, yaitu banyak bangunan peninggalan masa kolonial. Maka benda cagar budaya ini harus tetap dipertahankan untuk pembentukan karakter," tegas dosen jurusan arsitektur di Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar