Jejak
Perjuangan Rakyat Banten
Pada Masa Kolonial Jepang
Pada Masa Kolonial Jepang
J De Bruin WD bertugas
sebagai Residen Banten pertama pada 1817. Ia melakukan penataan kota dengan
membangun sejumlah gedung dengan menggunakan sebagian material Keraton
Surosowan yang dibakar Gubernur Jenderal Herman Willem Deandels pada 1812. Beberapa
bangunan tua peninggalan penjajah Belanda dan menjadi saksi perjuangan rakyat
Banten itu masih tersisa di Kota Serang, ibukota Provinsi Banten. Sementara
sebagian bangunan lainnya sudah hancur dan berganti dengan bangunan lainnya. Salah
satu bangunan tua yang telah tiada adalah Hotel Voss di Jalan Veteran, Kota Serang.
Hotel milik Smitt Voss ini menjadi saksi perjuangan sengit rakyat Banten melawan
penjajah Jepang pada 1945. Di hotel yang hancur dan berganti menjadi pusat
perbelanjaan itulah terjadi peristiwa heroik rakyat Banten yang menurunkan bendera
Jepang untuk pertama kalinya di Kota Serang. (Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala Serang, "Ragam Pusaka Budaya Banten", 2005). Hotel yang
dijadikan mess tentara Jepang tersebut direbut dan dijadikan markas oleh para
Tentara Pelajar, Tentara Putri, dan Badan Keamanan Rakyat. Bangunan itu juga
menjadi saksi gugurnya para pejuang Banten seperti Zamachsyari dan Kodir pada pertempuran
19 Desember 1948. Nama Zamachsyari diabadikan nama jalan di kawasan Cinanggung,
Kota Serang dengan nama Jalan Trip Jamaksari. Trip merupakan kepanjangan dari
Tentara Republik Indonesia Pelajar. Gedung Juang Bangunan tua lainnya yang
memiliki nilai sejarah perjuangan rakyat Banten adalah Markas Kempetai (satuan
polisi militer Jepang) yang kini menjadi Gedung Juang '45. Markas Kempetai ini
pernah direbut pemuda yang tergabung dalam Angkatan Pemuda Indonesia (API)
yaitu badan perjuangan di bawah Komite van Aksi di Menteng Raya 31, Jakarta
yang berperan menyambut Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Organisasi
pemuda ini dipimpin tokoh-tokoh muda seperti Adam Malik, Sukarni, M
Nitimihardjo, dan lain- lain. Di Serang, API dipimpin Ali Amangku yang juga
pemimpin Yugekitai (pasukan gerilya penjajah Jepang). berjudul Cerita Heroik
dari Kota Serang, rencana perebutan markas Kempetai dilakukan di markas API di
Kaujon Kalimati, Kota Serang. Hadir dalam pembahasan ini sejumlah pemimpin pasukan
dari Ciomas, Pabuaran, Baros, Taktakan, Padarincang, Kramatwatu, Cilegon, dan
Ciruas untuk membahas secara rinci rencana penyerangan. Dalam rapat itu
diputuskan penyerangan markas Kempetai akan dilakukan pada Kamis, 10 Oktober
1945, pukul 04.30. Strategi penyerangan dilakukan dengan membagi empat sektor
palagan (medan pertempuran). Iski memimpin sektor utara (depan), Zaenal Falah
memimpin sector timur (samping kiri), Nunung Bakri memimpin sektor barat
(samping kanan), dan Salim Nonong memimpin sektor selatan (belakang). Kode
penyerangan adalah pemadaman aliran listrik di Kota Serang dan tembakan senjata
oleh Iski. Pada Rabu, 9 Oktober 1945, beberapa pejuang dari sejumlah daerah di
Banten berdatangan ke markas BKR di Kota Serang untuk membantu rencana
penyerangan. Penampungan para pejuang disiapkan massa dari daerah Pandeglang
dan Lebak ditampung di Kampung Benggala. Dari daerah Cilegon, Merak, dan Anyer ditampung
di Lontar dan Kaloran. Pejuang dari Tangerang ditampung di Pegantungan. Pada
waktu yang ditetapkan, seluruh pasukan siap di tempat yang direncanakan. Pasukan
yang berada di sektor utara menjadi barisan penyerang. Pasukan ini mengambil
lokasi mulai dari perempatan Jalan Kantin (sekarang Jalan Juhdi) sampai ke
halaman gedung Kabupaten Serang. Sektor barat mulai dari halaman gedung
karesidenan dan di sepanjang Sungai Cibanten membawahi pasukan rakyat. Sektor
selatan di sekitar Benggala, sepanjang sisi selatan Alun-alun sampai ke Rumah
Sakit Serang yang juga membawahi pasukan rakyat. Sedangkan sektor timur anggotanya
terdiri para pemuda eks bintara PETA yang memiliki beberapa pucuk senjata api. Karena
pertahanan tentara Jepang yang begitu kuat, pejuang Banten mengalami kesulitan
merebut markas Kempetai. Sekira pukul 07.00, tersiar berita bahwa Nunung Bakri,
pemimpin sektor barat dan Juhdi dari sektor selatan telah gugur. Mendengar berita
gugurnya dua pemuda itu para pejuang semakin bergelora menyerang markas
Kempetai dari jarak dekat, walau harus menebusnya dengan nyawa, di antaranya
adalah Kudsi dan Thalib, pemuda dari laskar Ciomas. Pertempuran ini baru
berakhir pada malam harinya setelah pasukan penjajah kabur ke Jakarta dengan
menggunakan empat truk. Dalam pertempuran ini, lima pejuang Banten gugur.
Sementara dari pihak penjajah hanya dua orang. CAGAR BUDAYA Saat ini bangunan
eks Markas Kempetai atau Gedung Juang masih berdiri kokoh di Jalan Ki Mas Jong,
Kota Serang. Gedung bercat putih itu difungsikan menjadi sekretariat sejumlah
organisasi social kemasyarakatan seperti Dewan Harian Daerah (DHD) 45 dan Satkar
Ulama Indonesia Banten. Bentuk bangunan ini belum mengalami perubahan dengan
masih meninggalkan kekhasan arsitektur indies, dengan pilar silindris di bagian
depan bangunan serta jendela-jendela berukuran besar. Di dalam bangunan ini
terpasang sejumlah gambar pahlawan nasional. Beberapa bagian gedung sudah
mengalami pengeroposan karena lapuk dimakan usia. Pada malam hari, halaman
gedung yang berada di samping Alun-alun Barat Kota Serang ini dimanfaatkan
untuk tempat pedagang makanan. Di samping kiri gedung ini berdiri lembaga pendidikan
TK Pertiwi. Sementara di bagian kanan digunakan untuk tempat pelatihan satpam.
"Sayang bangunan bersejarah ini kurang perawatan," ungkap Jajang,
warga Kota Serang. Kabid Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar)
Banten Dadi Ruswandi mengakui tak ada anggaran untuk perawatan benda-benda
cagar budaya. "Tahun ini kita hanya menganggarkan untuk pembuatan plang peringatan
agar benda cagar budaya tak dirusak," ujarnya. Menurut pria yang akrab
dipanggil Abah Dadi ini, berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang
Cagar Budaya bahwa perawatan benda cagar budaya menjadi kewenangan pemilik bangunan
dan pemerintah daerah. Untuk melakukan renovasi, kata Abah Dadi, sebaiknya
dikoordinasikan dengan Disbudpar dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala
Serang. "Ada yang boleh direnovasi dan tidak. Undang-Undang Cagar Budaya
ini sekarang sedang direvisi, "ujarnya. Terkait pemanfaatan areal Gedung
Juang untuk menjual makanan, menurut Abah Dadi, hal itu diperkenankan selama mendapatkan
izin dari pemerintah daerah dan tidak merusak zona inti situs bersejarah. Ridwan
Kamil, konsultan arsitektur saat menjadi pembicara dalam Forum Design Seminar
Tata kota Serang pada Kamis (29/10/09) menyatakan, kota yang berkarakter adalah
kota yang memiliki cirri khas. "Ciri khas Serang sangat jelas sekali, yaitu
banyak bangunan peninggalan masa kolonial. Maka benda cagar budaya ini harus
tetap dipertahankan untuk pembentukan karakter," tegas dosen jurusan
arsitektur di Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar